Thursday, August 18, 2011

Empati dan berbagi


Hari ini, hati saya perih bagai disayat sembilu. Sedih. Perih. Bukan darah yang mengucur keluar, tetapi air mata yang sengaja saya tahan dengan kuat sampai-sampai tenggorokan terasa tercekat dan menyesakkan dada.
Perjuangan hidup saya tidak mudah, pencapaian yang saya peroleh tidak murah dan tidak sedikit pengorbanan serta bantuan dari saudara kanan kiri. Ketika saya mulai menikmati hidup, menikmati yang telah saya peroleh dan bersiap menggapai impian yang lain, Allah mengingatkan saya untuk mengingat saudara-saudara yang masih membutuhkan bantuan.
Bukan berarti saya tak ingat dengan uluran tangan orang-orang yang sayang kepada saya di saat saya butuh atau saya belum pernah berbagi dengan orang lain. Insya Allah secara rutin ataupun dadakan sudah melakukannya.
Hari ini hati saya tersentak dan terngiang kembali tentang cerita-cerita yang disampaikan teman saya. Teman saya itu, saat ini nasibnya jauh lebih baik daripada saya, dari sudut pandang mata saya tentunya. Hebatnya, dia tetap bersahaja dalam bertindak maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dia tak malu kemana-mana naik angkot, bus kota, bahkan jalan kaki. Dia tak malu makan di emperan pinggir jalan, justru warung-warung sepi yang dituju, yang penjualnya lansia, yang masakannya hanya sekedarnya. Dia sangat mampu untuk memilih hal sebaliknya, tapi dia tak menghendakinya. Pilihan hidup, katanya. Dia yang memilih cara hidup bersahaja seperti itu.
Salah satu ceritanya tentang kebiasaannya makan. Penjual warung-warung yang jadi langganannya sudah hapal, jika dia datang maka akan dibungkuskan 3-5 bungkus nasi. Dia yang bayar, tetapi tidak dibawa pulang, melainkan untuk dibagikan kepada tukang parkir, tukang sapu jalanan atau orang-orang tak mampu yang menjadi pelanggan warung itu juga. Penjualnya yang membagikan, atas permintaan teman saya itu.
Saya hanya tertegun mendengar cerita itu, terlebih lagi ketika dia menjelaskan maksudnya bahwa ketika dia makan, misalnya sekali makan habis lima puluh ribu jika di restoran, maka dia memilih makan di warung pinggir jalan. Sama juga habisnya bisa lima puluh ribu, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Makanan untuknya sendiri misalnya sepuluh ribu, sisanya jadi nasi bungkus yang akan dibagikan oleh penjual nasinya. Subhanallah.
Banyak lagi cerita lain darinya yang sering menginspirasi untuk selalu berbagi dan bersahaja, dan hari ini berkelebat memenuhi ingatan pikiran saya. Belum lagi ketika ingat apa komentar Ibu ketika saya membeli barang dengan harga mahal. Ibu membandingkannya dengan penghasilan orang-orang di kampung, atau berapa karung beras yang bisa dibeli dengan harga barang itu.
Teguran nenek juga tak kalah seru menghujam, ketika saya tidak menghabiskan nasi di piring, maka beliau bercerita bagaimana susahnya orang-orang bekerja di sawah untuk bisa menyediakan nasi di depan kita. Dari menanam benih padi, memupuk, mengairi, memanem, menjemur padi itu sampai kering yang kalau musim hujan harus bersusah payah mengeluarkan padi-padi dan buru-buru mengangkutnya ke tempat teduh jika turun hujan dan bagaimana sayangnya para petani itu mengumpulkan satu per satu butiran padi yang tercecer. Dan masih ada serentetan proses panjang lagi agar si padi itu tiba di hadapan kita untuk disantap bersama lauk pauk yang lain. Jika mendengar atau ingat cerita itu, maka saya urung untuk menyudahi makan dan melanjutkannya sampai nasi habis tak bersisa meskipun perut sudah kenyang.

No comments:

Post a Comment