Thursday, December 29, 2011

Untuk Rasamu


Sudah beberapa hari Olly sering terdiam, pandangannya kosong, wajahnya muram dan hanya sedikit senyum seperlunya yang menghias wajah manisnya. Padahal biasanya dia seperti matahari pagi yang membawa keceriaan untuk orang-orang di sekitarnya. Dia cerewet, lucu dan ulahnya aneh-aneh sering tak terduga yang sering membuat orang-orang tertawa atau hanya sekedar tersenyum geli. Entah apa yang dipikirkannya belakangan ini.
Aku sebagai sahabat terdekatnya sejak sekolah, tak berani mengusiknya, apalagi menanyakan apa yang sedang dipikirkannya. Aku tau betul jika sudah sampai semurung itu berarti dia sedang tertimpa masalah berat yang aku juga sudah tak bisa lagi membantunya. Paling-paling hanya menampung uneg-uneg atau tumpahan air matanya di pelukanku. Itu pun akan terjadi apabila dia sendiri yang sudah benar-benar ingin melakukannya. Bukan atas bujukan siapa pun. Jadi, aku hanya berusaha tetap mengajaknya bercanda, seperti biasa. Tapi garing, segaring daun-daun yang berguguran di musim panas yang sudah lama jatuh tertimpa teriknya matahari terus menerus. Lama-lama lelah juga berusaha ‘menghidupkan’ lagi cerianya.
          “Olly, sampai kapan kamu seperti ini? Kapan kamu akan cerita?”, tanyaku akhirnya.
          Ngga ada, Ra. Ngga ada yang bisa aku ceritain ke kamu. Even kamu, bahkan mamaku pun ngga akan bisa kuat nerima apa yang ada di pikiranku. Terlalu berat, terlalu berbahaya, terlalu indah, bahkan terlalu salah.”
          Suara Olly semakin lirih dan parau. Matanya berkaca-kaca. Aku sudah siap jadi penampung tumpahan air matanya. Hanya itu yang bisa aku lakukan, meskipun aku tak mengerti sedikitpun apa yang diucapkannya.
          Ngga apa ya, Ra.....”
          Tangisnya pun meledak.
          Aku hanya tersenyum, menemaninya menangis. Tangisnya tanpa suara tapi aliran airmatanya deras sekali. Hanya isakan sesekali yg terdengar semakin mengiris. Mataku pun turut kabur, berkaca-kaca. Entah apa yang kutangisi. Aku tak tau masalahnya, mungkin aku hanya turut sedih, karena sahabatku terlihat sangat sedih. Atau mungkin lebih karena aku tak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan sedihnya. Hanya bisa menemaninya menangis dan mendoakannya dalam hati.
          ”Kamu pasti tau semua orang punya masalah, Ly. Sabar ya, semua proses musti kita lalui. Apapun itu. Bagaimanapun itu. Semoga kamu kuat, semoga kamu sabar,” aku tetap berusaha menenangkannya.
          ”Di dalam tangisku ini tetap ada tawa, Naura. Aku menangis sedih, sekaligus bahagia, meski perih juga aku rasakan. Kamu ngga akan ngerti apa yang aku rasakan,” jelasnya dalam isakan dan senyuman yang aku tak mengerti.
          Gimana kalau kamu ceritakan saja apa yang kamu pikirkan, bukan yang kamu rasakan?”
          ”Justru aku sudah ngga bisa berpikir. Aku sudah mencoba semua yang aku pikirkan. Tapi kembali lagi semua yang aku rasakan tetap sama. Sudahlah, Ra. Biarin aja.”
          Tangisnya reda. Aku tidak berani mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Jika memang dia mau memendam sendiri masalahnya itu, itu haknya. Kami terdiam lama. Sunyi. Sampai akhirnya dia tersenyum tipis seolah mengucap terima kasih padaku. Aku pun membalas senyumannya dengan penuh doa untuknya dan menatapnya pasti. Aku tetap jadi sahabatmu.

******

No comments:

Post a Comment