Fauzi tak dapat menahan kepedihan hatinya lagi. Cukup sudah dia berusaha mengambil hati orang tua Zainab agar diperbolehkan menikahi gadis berparas cantik yang mirip orang Iran itu. Memang cantik, santun, pendiam, ngga neko-neko dan anak orang terkaya di kampung itu.
Bukan hanya Fauzi yang jatuh hati, tentu saja banyak pemuda lain yang memperebutkan hatinya. Pemuda dari kampung itu sendiri, kampung sebelah, sampai pemuda kota yang bawa mobil mewah-mewah jika bertandang ke rumah Zainab. Namun hati Zainab telah tertambat ke hati Fauzi. Sudah dapat diduga, hati Zainab juga hancur lebur ketika bapaknya tetap bersikukuh menolak Fauzi sebagai menantunya, dilarang menikahi Zainab, karena berbeda strata.
Fauzi memang anak petani biasa, pas-pasan dan hanya sebagai pegawai honorer di sebuah sekolah SMP. Tak ada yangg bisa ia banggakan untuk bisa meluluhkan hati bapak Zainab yang memang terlalu kaku, punya besan ya harus sederajat.
Waktu berlalu bersama kisah kasih tak sampai Fauzi dan Zainab yang sekarang sama-sama sudah berkeluarga, dengan orang yang sederajat tentunya. Zainab menikah dengan pemuda pilihan Bapaknya, Fauzi menemukan cinta baru di dekat sekolah tempat ia bekerja. Gadis yang tak kalah cantik, anak petani biasa, mungkin karena Fauzi kapok menaruh harapan terlalu tinggi terhadap anak gadis orang kaya.
Sekarang giliran keturunan keluarga kaya itu yang ketiban cinta kepada keluarga miskin. Baim, ponakan Zainab, anak dari kakak kandungnya, jatuh cinta pada Tiar, sepupu Fauzi, anak pamannya. Baim pemuda yang baik, supel dan romantis. Tak sulit baginya untuk mengambil hati Tiar.
Hidup di kampung, seperti hidup di tengah-tengah keluarga besar yang saling peduli. Tak lama kisah cinta Baim dan Tiar pun menyebar. Ibarat jarum jatuh pun terdengar sampai ke ujung jalan kampung itu. Berita ini tak urung akhirnya terdengar juga oleh kedua keluarga. Keluarga Tiar menanggapinya biasa saja, sudah biasa namanya anak muda saling jatuh cinta. Berbeda dengan keluarga Baim yang selalu menjaga ’nama baik’, menurut mereka, sehingga langsung Baim dipanggil ibunya.
”Baim pacaran sama Tiar?”
Baru duduk di hadapan kedua orang tuanya, Baim langsung diinterogasi.
”Iya, Bu.”
”Kenapa milih Tiar?”
”Hati saya yang memilih, Bu. Saya juga ngga ngerti kenapa saya bisa jatuh cinta pada Tiar, padahal saya tau betul masih banyak gadis yang lebih cantik dari dia.”
”Dan lebih kaya!”
Baim terperanjat memandangi ibunya. Baim langsung mengerti arah pembicaraan ini. Masalah kaya dan miskin yang masih dianut keluarga besarnya. Dia langsung teringat cerita tentang Fauzi dan Zainab yang jadi tersohor bagaikan artis di kampung itu. Sedihnya, dia akan menerima nasib yang sama dengan bibinya itu.
”Ibu tidak mempermasalahkan dia bukan gadis tercantik di kampung ini, nak. Tapi berpikirlah, masa depanmu, masa depan anak-anakmu, harus memiliki bibit dan bobot yang unggul. Jangan sampai hanya kita yang terbebani masalah biaya hidup di keluarga kecilmu nanti. Jika ada apa-apa dengan keluarga kita, terus kamu mau menyandarkan diri ke siapa lagi? Kamu harus menikahi anak gadis orang yang mampu juga, nak. Jangan bebani hidup kamu. Jangan bebani hidup kami. Kita semua berhak bahagia”
Baim hanya menunduk. Seluruh badannya jadi lesu, tak bersemangat. Kerongkongannya tercekat. Hatinya berteriak, ingin mengajukan berbagai macam argumen ke ibu bapaknya. Tapi otaknya melarang, nilai-nilai yang telah masuk ke otaknya mengharuskannya untuk menuruti kata-kata orang tuanya.
Keesokan harinya, dengan berat hati dia menuturkan ihwal perbincangan dengan orang tuanya kemarin sore. Tak ada lagi yang bisa dijanjikan untuk Tiar. Baim telah melepasnya, melepaskan ikatan hatinya. Meski perih menyayat hatinya dan hati Tiar. Jika keluarga Baim telah memutuskan sesuatu, tak ada yang berani melawan.
Dua kisah kasih tak sampai ternyata tidak cukup membuktikan bahwa kedua keluarga itu memang tak ditakdirkan untuk jadi satu keluarga. Kini giliran Andre dan Intan. Andre, adik bungsu Baim, sejak kecil sudah mengagumi Intan, anak dari sepupu Tiar. Tetap dengan kondisi yang sama. Andre sudah turun temurun jadi keturunan orang kaya, Intan sudah nasibnya jadi keturunan orang yang pas-pasan.
Mereka sering bermain bersama, tumbuh dan bersekolah di tempat yang sama, meski tidak satu kelas. Intan adik kelas Andre. Ketika SMP Andre bisa masuk ke sekolah favorit di daerah itu, tentu saja Intan bisa masuk juga dengan mudah di tahun berikutnya. Mereka tetap berteman. Meskipun orang-orang menganggap mereka pacaran. Tidak. Tidak pernah sekalipun mereka berbincang berduaan. Pasti rame-rame.
Meski begitu, yang naksir Intan ga berani mendekat, karena saingannya anak orang terpandang di kampung itu, bahkan di kecamatan itu. Sedangkan cewek-cewek ngga ada yang mau berusaha sia-sia mendapatkan hati Andre, karena sudah sangat jelas bahasa tubuh Andre sangat mengagumi Intan. Tak pernah lepas pandangannya dari Intan ketika Intan melintas. Tak jarang mereka hanya saling melihat dari jarak jauh.
Meskipun semua orang tau mereka saling mengasihi, tapi Intan tetap tak yakin akan perasaan Andre terhadapnya. Andre tak pernah menyinggung sedikitpun tentang cinta kepadanya. Ngobrol aja rame-rame, gimana mau nyampein perasaan?
Saat kuliah tiba, Andre merantau ke luar kota. Tak pernah ada kabar lagi. Saat Intan kuliah, ternyata dia diterima di perguruan tinggi di satu kota dengan Andre. Tapi mereka tetap tak pernah bertemu, karena jaraknya jauh. Intan tetap tak berani membuka hatinya buat orang lain. Hanya Andre yang ditunggu. Teman dekat dia punya banyak, yang terang-terang menyatakan cinta pun tak sedikit. Tapi dia hanya mau Andre.
Suatu ketika Intan mendapat telepon di tempat kost-nya.
”Assalamu’alaikum, Intan.”
”Wa’alaikumsalam.”
”Aku Andre, gimana kabarmu?”
”Baik, alhamdulillah.”
Perbincangan itu terhenti cukup lama, sangat canggung, karena sebelumnya tak pernah terjadi. Baru kali ini Andre ngomong langsung ke Intan.
”Mas Andre gimana? Sudah punya pacar?”
Ups.. tiba-tiba Intan menyesali pertanyaan yang sudah mendesak dari dasar hatinya dan tak mampu lagi dia tahan.
“Sudah In, sudah lama. Dia teman sekampusku.”
“Kapan-kapan kenalin ke aku, ya.”
Hanya itu yang tersampaikan dalam perbincangan itu. Tak banyak, meskipun memakan waktu yang lama. Demikian juga pada telepon-telepon selanjutnya. Irit bicara. Intan jadi heran, kenapa ketika sudah sangat lama tak ada kabar, sekarang sudah punya pacar malah sering nelpon? Pertanyaan yang tak terjawab. Akhirnya Intan pun membuka hati untuk orang lain. Meski dia tau, itu bukan cintanya.
Hingga waktu datang Intan sudah memiliki pekerjaan, Andre masih serabutan. Andre pun masih sering menelepon. Suatu ketika Andre berpesan, ”Kalo nanti mau nikah, kasih tau aku ya.” Pinta Andre diiyakannya. Meski dia tak mengerti ulah pemuda itu terhadapnya, terhadap hatinya.
Sudah punya pekerjaan, sudah ada calon, tak perlu menunggu lama lagi untuk menikah. Persiapan sudah matang, undangan sudah tersebar. Sudah pasti Intan ingat pesan Andre.
”Mas Andre, aku mau menikah 2 minggu lagi. Undangan sudah kami sebar. Mas Andre datang ya.”
Baru kali ini Intan lancar bicara ke Andre. Hening di seberang sana. Tak ada respon.
”Mas dengar? Aku mau menikah. Katanya kalo mau nikah suruh kasih tau.”
”Iyah aku dengar.”
Suara Andre parau.
”Tapi maksudku bukan seperti ini, Intan. Mustinya jauh-jauh hari Intan kasih taunya. Intan kan tau Mas sayang sama Intan.”
Hening. Terdiam semua. Air mata Intan tak terbendung. Kata-kata itu, kenapa baru dia dengar sekarang?
”Kenapa Mas baru bilang? Lagian Mas kan sudah punya pacar?”
”Kalau jauh-jauh hari, aku masih punya kesempatan, In. Pacarku itu? Kamu tau sendiri sering aku cerita sering berantem sama dia.”
”Mas aneh! Kenapa harus nunggu aku mau nikah dulu baru bilang sayang ke aku? Udah gitu punya pacar berantem mulu kenapa betah? Kenapa ngga diputus aja?”
Hati Intan sudah tak tahan lagi. Kalau mau menumpahkan isi hati, hanya saat ini waktu yang dia punya.
”Lagian Mas kan tau, keluarga besar kita seperti apa. Memangnya kalau Mas mau sama aku, terus sama Ibu boleh? Pasti lebih dipilih pacar mas yang anak orang kaya itu juga kan”
”Iyah...” jawab Andre lunglai, pasrah.
Hening. Semua terdiam. Intan puas sudah tau jawabnya. Dia puas mengetahui bahwa sebenarnya dia tak merasakan cinta sendirian. Mereka menangis bersama, di tempat berbeda. Tak mengerti apa yang harus dilakukan. Dan akhirnya Intan memaksakan diri untuk bilang...
”Sudahlah Mas, ikhlaskan aku menikah. Doakan adikmu ini bahagia”
”Amin.”
Tak ada lagi kata. Hanya salam penutup dan tangisan keduanya yang terus berlanjut lama.
***